Rabu, 30 Maret 2016

DAFTAR ISI

SAMPAIKAH HADIYAH PAHALA PADA SI MAYIT?

Agar lebih jelasnya akan aku kutipkan penjelasan dari Buya KH. Siradjuddin Abbas mengenai Hadiah pahala di dalam bukunya
40 Masalah Agama jilid 1 hal 195:
Hakikat Hadiah Pahala
Apakah hakikat hadiah pahala itu?
Setiap orang yang muslim yang berakal diberi pahala oleh Tuhan kalau ia mengerjakan sesuatu amal ‘ibadat. Seseorang yang bersedakah atau berderma kepada fakir miskin mendapat pahala atas amalannya itu, seseorang yang memberikan harta waqaf mendapat pahala atas amalannya, seorang yang berpuasa mendapat pahala atas puasanya itu dan begitulah seterusnya. Tentang hal ini umat islam sedunia sepakat mempercayainya. Karena banyak sekali ayat-ayat Qur’an suci dan hadits-hadits Nabi yang menerangkan hal itu.
Diantaranya firman Tuhan :
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan setimbang zarrah(yang kecil) ciscaya ia akan melihat (mendapat) pahalanya”(Az Zalzalah ayat 7).
Ayat ini menyatakan bahwa setiap orang yang mengerjakan kebaikan, walaupun kebaikan itu kecil sebesar debu atau sebesar zarrah niscaya akan diberi Tuhan upah atau pahalanya.
Nah, pahala amala kebaikan yang telah didapat oleh yang mengerjakan dan sudah dalam berada dalam simpanannya, bolehkah dihadiahkannya kepada orang lain, umpamanya kepada ibu bapaknya, kepada karibnya, kepada saudaranya, baik yang telah wafat atau yang masih hidup, adalah bermanfaat kepadanya di akhirat.
Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah beri’tiqad (mempercayai) bahwa hal itu boleh  dilakukan, dan orang yang diberi hadiah pahala itu mendapat pahala di akhirat.

Demikianlah Abuya di dalam menjelaskan tentang hadiah pahala bahwa hal itu boleh dilakukan dan pahalanya akan sampai kepada si mayit
Adapun mengenai dalil-dalilnya di dalam buku tersebut dijelaskan mulai dari  hal 196 sampai hal 215 ada 19 dalil yang dikemukakan beliau mengenai hadiah pahala , berikut akan aku kutipkan sebagian :
Dalil pertama :
“Dari Ibnu Abbas (Sahabat Nabi) Rda beliau berkata : bahwasanya seorang wanita dari suku Juhainah datang kepada Nabi Muhammad Saw, lalu bertanya : Bahwasanya ibuku bernadzar akan naik haji, tetapi ia meninggal sebelum mengerjakan Haji itu, apakah boleh saya menggantikan hajinya itu? Jawab Nabi : Ya boleh, naik hajilah menggantikan dia!”
Perhatikanlah, umpama ia berhutang tentu engkau bisa membayar hutangnya, maka hutang kepada Tuhan lebih berhak dibayar ” (H. Riwayat Imam Bukhari dan lain lain, lihat Fathul Bari juzu’ IV, pagina 437)
Dalil ketiga:
Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi Muhammad Saw. Mendengar seorang laki-laki membaca talbiyah(dalam ibadat haji) “Labbaika  ‘an Syubrumah” (“Oh tuhan ! Saya perkenankan seruanmu untuk mengganti Sybrumah”). Lantas Nabi bertanya kepada orang itu : Siapa Syubrumah itu? Jawabnya : saudara(karib) saya . Apakah engkau sudah mengerjakan haji untukmu? Tanya Nabi . “Belum”, jawabnya.
Nabi berkata : Hajilah dulu untuk dirimu, kemudian baru menghajikan syubrumah”. (H. Riwayat Abu Daud dan lain-lain, lihat sunan Abu Daud juzu II pagina 162)
Dalil keempat :
Tersebut di dalam hadits Muslim bahwasanya Nabi Muhammad Saw pada ketika akan berkorban dua ekor kibasy putih, berniat begini :
“Dengan menyebut Nama Allah Ya Allah terim alah (korbanku) dari Muhammad, dan keluarga Muhammad dan dari Umat Muhammad”(H. Riwayat Imam Muslim, lihat sahih Muslim juzu’ XIII pagina 122).
Dalil ketujuh :
“Barangsiapa yang  disembahyangkan oleh 3 shaf maka wajib baginya mendapat keampunan”.(H.Riwayat Imam Tirmidzi. Lihat sahih Tirmidzi juzu’ IV pagina 247)
Hadits ini menerangkan bahwa seseorang yang meninggal kalau jenazahnya disembahyangkan oleh 3 saf, maka si mayit itu telah berhak mendapatkan keampunan dari Tuhan.
Sembahyang 3 Saf itu bukan amal si mayat, bukan pekerjaannya, tetapi amal orang lain yang hidup, tetapi ia mendapat pahala dan beruntung karenanya. Ini adalah bukti bahwa amal orang lain bisa didapat pahalanya oleh orang lain.
Dalil kesembilan :
“Dari Ibnu Abbas, bahwa seorang pria bertanya kepada Nabi : Ya Rasulullah, bahwasanya ibu saya telah meninggal, adakah bermanfa’at untuknya kalau saya bersedekah/berwakaf menggantikannya. Jawab  Rasulullah  : Ya na’am. Lalu orang itu berkata : Bahwasanya saya mempunyai sebuah kebun dan saya minta kesaksian tuan bahwa kebun saya itu telah aku sedekahkan/wakafkan untuk ibu saya.”(H. Riwayat Imam Tirmidzi. Lihat Sahih Tirmidzi Juzu’ III, pagina 175)
Dalil kelima belas :
“Dari Mi’qal bin Yasar, berkata Nabi Muhammad Saw. Bacakanlah untuk orang yang mati surat Yassin”.(H.Riwayat Abu Daud, lihat sunan Abu Daud juzu’ III, pagina 91).
Demikian sebagian dalil-dalil yang dapat aku kutipkan , ada 19 dalil dikemukakan oleh Beliau dalam buku tersebut, di penghujung dalil ke 19  Beliau mengutip dari pengarang kitab Bariqatul Muhammadiyah yang mengambil kesimpulan :
“Ketahuilah bahwa yang pokok dalam bab ini, bahwa manusia boleh menghadiahkan pahala amalnya kepada orang lain, baik untuk orang yang telah meninggal maupun untuk orang yang masih hidup, yaitu pahala haji, sembahynag, puasa, sedekah atau lain-lain seperti bacaan Qur’an, bacaan zikir. Apabila seseorang mengerjakan ini, dan ia berikan pahalanya untuk orang lain, itu adalah boleh dan tidak diragukan lagi , dan sampai pahalanya itu kepadanya menurut I’tiqad kaum Ahlusssunnah Wal Jama’ah” (Bariqatul Muhammadiyah, juzu’ II pagina 99)
Aku mengambil sumber yang lain selain dari buku 40 Masalah Agama jilid 1 di atas yakni kitab Jawahirul Arifin juz 3 karangan KH. Ahmad Jauhari Umar ::
Pada halaman 30 :
Dan berkata Nabi saw : Sesungguhnya seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw : “Sesungguhnya ayahku meninggal dunia dan meninggalkan harta namun belum berwasiat, apakah dapat menjadi kafarat atasnya jika aku bersedekah atasnya?” Nabi menjawab “Iya” (H. Riwayat Imam Muslim juz 2 halaman 13)
Hadits ini adalah nash yang sharih menurut Ahlus sunnah wal jamaah atas sampainya sedekah atas mayit dan manfaatnya atas nya dan sampainya amalan-amalan orang hidup untuk orang orang mati
Pada halaman 31 :
Dan berkata Nabi Saw : “Apabila Anak adam meninggal dunia maka terputuslah amal-amal nya kecuali tiga perkara : Shadaqah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang shalih yang mendoakan orang tuanya ( H. riwayat Imam Muslim  juz 7 halaman 95)
Dan ini adalah nash yang sharih  menurut Ahlussunnah wal Jamaah bahwa mayit mendapatkan manfaat dengan sedekah jariyah dan mayit mendapatkan manfaat dengan ilmunya setelah matinya dan mayit mendapatkan manfaat dengan doa anaknya yang shalih  dan orang yang meninggal dapat mendapatkan manfaat dengan amalan-amalan orang yang masih hidup.
Dan  di dalam halaman 49 disebutkan :
“Dan di dalam Shahih Muslim di dalam bab sampainya sedekah atas mayit kepadanya terdapat pada juz 3 halaman 81 :
“Dari Siti Aisyah Ra : Sesungguhnya  seorang laki-laki datang kepada Ralullah saw dan berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya ibuku meninggal tiba-tiba dan belum berwasiat dan saya kira kalau beliau dapat berbicara sebelumnya tentu ia akan bersedekah , apakah ia akan dapat pahala jika saya sedekah atas nya? Berkata Nabi : “iya”.
Dan hadits ini adalah nash yang sharih menurut Ahlussunnah wal jama’ah  atas sampainya pahala sedekah dan manfaatnya atas si mayit.
Berkata Imam Nawawi di dalam Syarah Muslim juz 7 halaman 90 :
“Dan di dalam hadits ini bahwasanya sedekah atas mayit akan bermanfaat untuk mayit dan sampai pahalanya . Dan demikian itu dengan ijma’ ulama.
Perkataan “iya” adalah hadits ini membolehkan sedekah atas mayit dan disukai akan hal ini  dan sesungguhnya pahalanya akan sampai padanya dan bermanfaat untuknya dan bermanfaat juga bagi yang menyedekahkannya dan ini semuanya sudah ijma’ umat muslimin (Syarah muslim juz 11 halaman 13)
Terdapat di dalam kitab Fadhilah Sedekah karangan Maulana Muhammad Zakariyya al Kandahlawi  di dalam hadits ke 18 :
“Saad bin Ubadah ra berkata : “Wahai Rasulullah  Saw, ibu saya telah meninggal dunia, sedekah apakah yang lebih baik baginya (agar pahalanya sampai kepada ruhnya) ?”, Rasulullah saw bersabda “Air adalah lebih baik” Maka Saad ra kemudian menggali sumur untuk ibunya (agar pahalanya disampaikan kepada ibunya. (Hr. Malik, Abu Dawud, Nasa’I – Misykaat)
Selanjutnya masih di dalam kitab Fadhilah sedekah halaman 90 :
Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa Saad ra berkata : “Ya Rasulullah, ketika ibu saya masih hidup beliau telah menunaikan ibadah haji dengan harta saya. Dengan harta sayalah beliau telah memberikan sedekah, bersilaturahim, juga membantu manusia. Kini setelah beliau meninggal dunia, saya meneruskan semua ini atas nama beliau, apakah pahalanya akan sampai kepadanya ? ” Rasulullah saw menjawab “Akan sampai” (Kanzul Ummal)
Di dalam halaman 91 dikatakan :
“Dinyatakan dalam sebuah hadits apabila manusia meninggal dunia, keadaannya di dalam kubur  laksana orang yang sedang tenggelam di dalam air. Dia senantiasa mengharapkan dan menanti-nanti uluran tangan orang tuanya, saudaranya atau sahabat-sahabatnya, sekurang-kurangnya berdoa untuknya. Apabila suatu bantuan sampai, itulah yang paling berharga bagi mereka lebih dari segala-galanya(Ihya ‘Uluumiddiin).
Basyar bin Ghalib Najrani berkata : “saya telah banyak berdoa untuk Rabiah Basri rah.a”
Suatu ketika saya melihatnya dalam mimpi, ia berkata “Basyar, hadiahmu telah sampai kepadaku dalam wadah cahaya yang tertutup kain sutera”, saya bertanya “Hadiah apakah itu?” ia menjawab: “Doa orang-orang islam yang dikabulkan bagi si mati, diisikan di dalam wadah cahaya yang tertutup kain sutera, diberikan kepada si mati sambi diberi tahu, “ini adalah hadiah bagiku dari si fulan” (Ihya ‘Uluumiddiin)
Syekh Taqiuddin rah. a. berkata  : “Barang siapa yang mengira bahwa manusia mendapat pahala hanya untuk amalan-amalannya sendiri saja, maka pendapat mereka adalah bertentangan dengan ijma para ulama. Para ulama telah sepakat bahwa manusia mendapat faedah dari doa orang lain. Ini berarti faedah dari amalan orang lain. Kita lihat Rasulullah saw memberi syafaat pada hari hisab, begitu juga para anbiya as. Semua itu adalah faedah dari amalan orang lain. Para malaikat pun berdoa dan beristighfar bagi orang-orang beriman(sebagaimana dalam surat Al-Mukmin ayat pertama) . Di samping itu Allah swt dengan rahmat dan karunia-Nya mengampuni dosa-dosa orang banyak. Faedah ini juga bukan dari amalan sendiri. Anak anak kaum mukminin akan masuk Jannah bersama kedua orang tuanya (lihat surat Ath Thuur ayar pertama). Orang yang sudah mati mendapat pahala apabila kewajiban hajinya ditunaikan oleh orang lain. Ini semua adalah pahala akibat amalan orang lain. Dan banyak bukti-bukti lain yang mendukung pendapat ini (Badzlul Majhud)
Di halaman 20 dikatakan :
Seorang wali Allah swt mengatakan “saudaraku telah meninggal dunia. Aku telah melihatnya dalam mimpiku , lalu bertanya “Bagaimana keadaanmu di dalam kubur?” , Dia menjawab ” Ketika itu gumpalan api yang besar datang menghampiriku tetapi tiba-tiba doa seseorang telah sampai kepadaku jika tidak api itu telah menyentuhku”
Muhammad bin Ahmad mawazi rah a berkata : ” Aku telah mendengar Imam Ahmad bin Hanbal rah.a. menasehati kepada manusia, “Apabila kamu menziarahi kubur, hendaklah kamu membaca surat al Fatihah, Qul huwallahu ahad, Qul auudzu birabbil falaq dan Qul auudzu birabbin naas. Setelah itu sampaikanlah pahalanya kepada para penghuni kubur, pahalanya akan sampai kepada mereka,”(Ihyaa ‘Uluumiddiin)
Penutup
Sebagai penutup aku nukilkan kembali kesimpulan penutup dari buku 40 masalah agama bab hadiah pahala halaman 223 :
“Dalam menutup buku perihal masalah Hadiah pahala ini baiklah kami ambil kesimpulan, bahwa barang siapa yang beri’tiqad bahwasanya seseorang manusia  tidak akan dapat manfaat atau faedah melainkan hanya dari amalannya sendiri, maka orang itu telah melawan ijma’ Ulama ulama yang besar dan keluar dari I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah.”
Teman-temanku yang seiman,
Semoga kita selalu dalam lindungan Allah swt, dibimbing oleh Allah agar selamat dunia akhirat
dan semoga kita bisa berkumpul kelak di akhirat Amin…..
Jakarta, 25 Februari
Mahrizal
Referensi :
1. 40 Masalah Agama jilid 1
2. Kitab Jawahirul Arifin juz 3
3. Buku terjemah Fadhilah sedekah

APA ITU MAZHAB

Apa itu madzhab
Madzhab ialah pendapat seorang ulama mujtahid
Jika kita bisa beribadah langsung mengikuti Al-Quran dan Hadits , kita meneliti sendiri shahih tidaknya, tahu ilmu2 nya, maka silakan langsung tidak perlu bermadzhab
namun jika sekiranya tidak bisa maka sebaiknya mengikuti pendapat madzhab tertentu agar selamat
bagaimana tidak, untuk bisa tahu cara takbiratul ihram saja, ada berapa banyak hadits yang perlu kita buka, baik shahih bukhari, muslim, sunan tirmidzi, sunan baihaqi, sunan abu daud, sunan an nasai dan kitab2 hadits lainnya.
belum lagi rukunnya wudhu, rukun shalat, akan butuh berapa lama untuk membuka kitab2 hadits
itupun kalau kita tahu ilmunya, ada segudang ilmu yang harus dikuasai, ilmu nahwu shorof, balaghah, mantiq, asbabul wurud, musthalahul hadits dan ilmu2 lainnya.
Akan efisien kalau kita belajar memakai madzhab, dalam safinatun najah langsung disebutkan :
rukun wudhu 6 : niat, membasuh muka, membasuh tangan, membasuh kepala, membasuh kaki dan tertib
rukun wudhu yang 6 adalah hasil rangkuman oleh imam madzhab yang dari berbagai hadits-hadits tentang wudhu yang jumlahnya ribuan yang telah disaring hanya yang shahih
Imam madzhab merinci dari ribuan hadits2, mana yang rukun yang wajib dikerjakan (contoh : membasuh muka) , mana yang sunnah (contoh : berkumur) , mana yang makruh (berlebihan air)
Tanpa perlu kita keriting membuka kitab hadits yang kita belum tentu tahu ilmunya, kita bisa tahu dari kitab madzhab yang mana sumbernya dari Al-Quran, hadits, Ijma’ dan Qiyas
Seperti :
kalau kita mau beli Aqua, pabriknya ada di Bekasi
kalau kita tahu jalannya punya ongkosnya kita bisa ke sana
iya kalau kita tahun jalan dan ada ongkos ke sana
tapi kalau kita tidak tahu jalannya, ongkos ke sana tidak punya
lebih baik kita membeli aqua di warung depan rumah
efektif dan efisien, barangnya sama lagi
ngga capek, ngga kesasar
enak kan
Kita bisa beribadah dengan enak
Tahu rukun, sunnah, makruh dan mana yang membatalkan belajar dari imam madzhab
sama lagi dengan yang ada di Al-Quran dan Hadits, karena imam madzhab bersumber dari dua wasiat rasulullah
tidak repot dan tidak kesasar
Efektif dan efisien
kalau mau tahu dasarnya, ya ngaji lagi , nanti akan disebutkan dalam kitab2 fiqih tingkat lanjut, seperti syarah Al Muhadzab yang disusun oleh Imam Nawawi, ini lho haditsnya membasuh muka riwayatnya shahih, ini lho hadits takbiratul ihram riyawatnya shahih dan lain sebagainya.
Dan tidak perlu malu untuk mengaku bermadzhab sebab ketidaktahuan kita, sebab ulama2 yang alim hafal ratusan ribu hadits seperti imam nawawi, imam ibnu hajar al asqalani, imam ghazali bahkan imam bukhari pun bermadzhab.

HUKUM MENYENTUH AL-QUR'AN TANPA WUDHU

Di dalam madzhab syafi’i sudah jelas hukumnya, bahwa hukum menyentuh mushaf Al-Qur’an tanpa berwudlu adalah haram
karena dalilnya ayat dan haditsnya jelas
Namun belakangan ini muncul paham2 yang mengatakan tidak apa2 menyentuhnya tanpa berwudlu dan tidak haram meskipun kita tidak punya wudlu
Untuk menjawab ini saya akan kemukakan dalil-dalil kitab Madzhab Syafi’i yang menunjukkan bahwa menyentuh Mushaf Al-qur’an tanpa berwudlu adalah tidak boleh dan haram hukumnya
Dalil pertama
Menurut Kitab Al-Mabadiul Fiqhiyah karangan Ustadz Abdul Jabbar juz 3 , hal 18 :
Apa saja yang diharamkan atas orang yang berhadats kecil :
1. Shalat
2. Twafaf
3. Menyentuh Mushaf (Al-qur’an )dan membawanya
lebih jelas lagi dijelaskan Al-Mabadiul Fiqhiyah juz 4, hal 15 :
Apa yang haram dengan orang yang berhadats kecil :
1. Shalat, karena sabda Nabi Saw : Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci (berwudlu)
2. Thawaf , karena sabda Nabi saw : Sesungguhnya thawaf di Baitullah adalah shalat
3. Menyentuh Mushaf  (Al-qur’an) dan membawanya , Karena firman Allah ta’ala : Tidak boleh menyentuhnya (Al-qur’an) kecuali orang-orang yang suci, dan sabda Nabi saw : Tidak boleh menyentuh Al-qur’an kecuali orang yang suci

Dalil kedua
Di dalam kitab Kasyifatus saja karangan Syekh Nawawi Banten syarah dari Safinatun naja karangan Syekh Salim bin Samir Al hadhrami , hal 28 :
“(Fasal) Barang siapa yang batal wudlu nya maka haram atas nya 4 perkara : Shalat, Thawaf, Menyentuh Mushaf  (Al-qur’an) dan membawanya, Dan haram atas orang yang junub 6 perkara : Shalat, thawaf, menyentuh mushaf, membawa mushaf, berdiam di masjid, dan membaca Al-qur’an. Dan haram atas orang yang haidl 10 perkara : shalat, thawaf, menyentuh mushaf, membawa mushaf, berdiam  di masjid, membaca Al-Qur’an , puasa, thalaq (cerai), melewati dalam masjid bila takut mengotori masjid, Istimta’ (bersenang-senang) antara pusar dan lutut”
Dalil ketiga
DI dalam kitab Fathul Mu’in karangan Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al Malibari Murid dari Imam Ibnu Hajar Al haitami Asy syafi’i, hal 9 :
(penutup) Haram atas orang yang berhadats : shalat, thawaf, sujud, membawa Mushaf dan apa saja yang tercatat dalam pelajaran Al-qur’an walau sebagian ayat….
Dalil Keempat
Di dalam kitab Minhajul Qawim karangan ‘Allamah Syihabuddin ahmad ibnu Hajar Al haitami Asy syafi’i , hal 16 :
” (Fasal) Di dalam menerangkan perkara yang haram bagi orang yang berhadats maksudnya adalah hadats kecil secara mutlak (Haram bagi orang yang berhadats melakukan shalat) sudah disepakati secara ijma'( dan semacamnya ) seperti sujud tilawah, sujud syukur, khutbah jumat, dan shalat jenazahm, ( Thawaf ) walau sunnah karena sesungguhnya thawaf adalah shalat sebagaimana di dalam hadits ( membawa Mushaf dan menyentuh daun nya, khawasy nya,  kulitnya)  karena firman Allah ta’ala : “Tidak menyentuhnya (Al-qur’an) kecuali yang suci , maksudnya  adalah orang-orang yang suci dan lafal itu adalah ‘khabar’ dengan makna larangan, dan telah shahih sesungguhnya Nabi saw bersabda : Tidak menyentuh mushaf kecuali orang yang suci”
Dalil kelima
Di dalam kitab Tafsir Al-Jalalain karangan Allamah Jalaluddin Al Mahalli dan Syekh Jalaluddin As suyuthi , hal 207 :
(Laa Yamassuhu : Tidak menyentuhnya) khabar dengan makna larangan (Illal Muthahharun : kecuali orang-orang yang suci) maksudnya adalah orang-orang yang mensucikan diri mereka dari hadats-hadats
Jelaslah kedua Imam besar tersebut mengartikan “Laa yamassuhu Illal Muthahharun” dengan arti kurang lebih Tidak boleh menyentuh Mushaf Al-qur’an kecuali orang-orang yang suci dari hadats kecil dan hadats besar
Dalil keenam
Di dalam kitab Tafsir Al-Munir karangan Syekh Nawawi Banten juz 2, hal 348 :
“(Laa Yamassuhu Illal Muthahharun : Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci) maksudnya adalah tidak menyentuh kitab itu kecuali orang-orang yang suci dari hadat-hadats maksudnya pula haram atas mereka menyentuhnya tanpa bersuci , dan ini jumlah sifat kedua untuk kitab maka artinya khabar dengan makna larangan, dan diriwayatkan oleh Imam Malik dan selainnya sesungguhnya kitab umar bin hazm dan dia adalah ahli dzahir tidak menyentuh Al-qur’an kecuali orang yang suci, dan berkata Ibnu Umar bersabda Nabi saw : Jangan kamu menyentuh Al-qur’an kecuali kamu dalam keadaan suci”
Dalil ketujuh 
Di dalam kitab Attibyan Fi adabi hamalatil Qur’an karangan Imam An Nawawi pengarang kitab Riyadlus shalilihin , hal 9 di bagian belakang :
“Haram atas orang yang berhadats walau hadats kecil menyentuh sesuatu dari Mushaf dan membawanya”
Imam Nawawi disebut sebagai Imam terbesar dalam madzhab syafi’i juga berpendapat bahwa tidak boleh orang yang berhadats meskipun hadats kecil menyentuh Mushaf Al-qur’an.
Demikian ketujuh dalil kitab  saya paparkan yang saya bisa, sebenarnya masih banyak keterangan2 yang menyatakan bahwa tidak boleh menyentuh Al-qur’an kecuali orang yang suci maksudnya suci dari hadats kecil dan hadats besar, namun berhubung sedikitnya ilmu saya maka hanya tujuh kitab yang dapat dijadikan sandaran yang dapat saya sampaikan
Kesimpulannya adalah hukum menyentuh Mushaf Al-qur’an bagi orang yang berhadats adalah mutlak haram, jika kita ingin menyentuhnya maka wajib kita  berwudlu, bagaimana jika membaca jika membaca maka boleh bagi yang berhadats kecil namun bagi yang berhadats besar hukumnya haram.
Meminjam  kalimat Buya KH. Siradjuddin Abbas dalam buku 40 masalah agama : Bagi orang yang beriman satu dalil sebenarnya cukup namun bagi orang yang tidak beriman seribu dalil tetap akan menolak.
Sebagai penutup saya nukil kalimat di kitab Ta’limul muta’allim hal 26 perkataan Imam Abu Hanifah : “Tidak ada ilmu kecuali untuk mengammalkannya”.
Wallahu a’lam

RUKUN SHOLAT


Rukun Shalat ada 13 , yaitu :
1. Niat yang berbarengan dengan Takbiratul Ihram
2. Berdiri bagi yang mampu untuk shalat fardlu
3. Takbiratul Ihram
4.Membaca Alfatihah
5. Ruku dengan thumaninah
6.I’tidal dengan thumaninah
7. Sujud dua kali dengan thumaninah
8. Duduk diantara dua sujud dengan Thumaninah
9. Duduk akhir
10 Membaca Tasyahud atau Tahiyyaat akhir pada duduk akhir
11. Shalawat atas Nabi saw pada duduk akhir
12. Salam yang pertama
13. Tertib
Sumber : Al Mabadiul Fiqhiyah juz 3 hal 21